Tuesday 22 May 2012

Perilaku Agresif



A. Pengertian Agresif

Secara Psikologis, agresif berarti cenderung (ingin) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai hal yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat (KBBI: 1995: 12).

B. Pengertian Perilaku Agresif

Sebelum membicarakan tentang definisi perilaku agresif (aggressive behavior), perlu dikemukakan bahwa ada beberapa konsep yang maknanya masih diperdebatkan mempunyai perbedaan, atau persamaan, dengan perilaku agresif, konsep tersebut adalah bullying dan violence.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa perilaku agresif sinonim dengan bullying dan violence, sementara yang lain berpendapat bahwa bullying dan violence merupakan sub bagian (subset) dari perilaku agresif. Perdebatan konsep tersebut ditegaskan oleh O’moore (t.t.: 1) sebagai berikut:
There is a tendency, at present, towards viewing aggression, bullying and violence as being synonymous. While few will disagree that bullying and violence are sub-sets of aggressive behaviour, disagreements are encountered, especially in respect of what constitutes bullying and violence.

Dalam hal ini, tidak diperdebatkan apakah sebuah konsep di atas berbeda ataukah sinomin, tetapi yang ditekankan adalah bentuk-bentuk yang tampak dari suatu perilaku yang digolongkan sebagai perilaku agresif.

Ahli psikologi sosial, yaitu Dollard dan Miller, menerangkan dengan frustration-aggression hypothesis (Brigham, 1991; Baron & Byrne, 2004; Nashori, 2008). Orang-orang yang frustrasi marah terhadap orang-orang yang dianggap sebagai penyebab atau perantara terjadinya rasa sakit. Disakiti atau dilukai perasaannya atau kepentingannya, itulah yang dijadikan alasan oleh sementara orang untuk bertindak agresif. Mereka frustrasi dengan apa yang terjadi, dan jadilah mereka menjarah, membunuh, menembak, melempar batu, memukul, membacok, dan seterusnya. Di dalam kajian psikologi, perilaku agresif mengacu kepada beberapa jenis perilaku baik secara fisik maupun mental, yang dilakukan dengan tujuan menyakiti seseorang (Berkowitz, 2003).

Jenis perilaku yang tergolong perilaku agresif diantaranya berkelahi (fighting), mengata-ngatai (name-calling), bullying, mempelonco (hazing), mengancam (making threats), dan berbagai perilaku intimidasi lainnya (Wilson, 2003). Sebagian tidak jelas hubungannya antara perilaku yang satu dengan perilaku yang lain, sehingga istilah perilaku agresif sulit untuk didefinisikan secara ringkas.

Loeber and Stouthamer-Loeber, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku Agresif sebagai berikut: “Aggression is defined as those acts that inflict bodily or mental harm on others”.

Definisi ini lebih menekankan pengertian agresif pada tindakannya, yang selanjutnya mempunyai pengaruh negatif sebagai konsekuensi dari sebuah tindakan agresif terhadap korban, yaitu kerugian jasmani dan mental orang lain, tanpa memandang tujuan dilakukannya tindakan agresif itu sendiri.

Coie and Dodge, dalam Tremblay (2000: 131) mendefinisikan perilaku Agresif sebagai berikut: “Behaviour that is aimed at harming or injuring another person or persons”.

Definisi ini tidak menekankan pada kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh perilaku Agresif, tetapi lebih menekankan pada tujuan dilakukannya perilaku agresif, yaitu kerugian atau terlukanya orang lain.

Sekarang, rumusan perilaku agresif tidak hanya dilihat dari bentuk perilakunya, melainkan juga dilihat dari aspek tujuan atau maksud dilakukannya suatu perbuatan agresif tersebut. Rumusan demikian sesuai dengan yang dikemukakan oleh :

Persson (2005: 81): “In the present study, the definition of aggression was broadly formulated to encompass not only acts specifically intended to hurt another person, but also acts that result in negative consequences for a peer, although their primary aim is to attain a personal goal,rather than to hurt a peer”

Berdasarkan pendapat di atas,sebuah perbuatan dapat digolongkan sebagai perilaku agresif jika perbuatan tersebut sengaja dilakukan dengan menyakiti maupun merugikan orang lain.

C. Ciri – Ciri Perilaku Agresif

Ciri Perilaku Agresif :
Jujur, terbuka namun cara mengungkapkan perasaan tidak tepat,
Cenderung memaksakan kehendak,
Diliputi rasa marah, menyalahkan,
Ingin menjatuhkan orang lain,
Menimbulkan ketegangan, rasa sakit, cemas, salah.

Agresif Merupakan perilaku yang :
Mengutamakan kebutuhan, perasaan diri sendiri
Mengabaikan hak dan perasaan orang lain
Menggunakan segala cara, verbal dan non verbal, misal. sinisme, kekerasan

Isi Pikiran agresif :
Hanya perduli dengan tercapainya tujuan diri
Disertai tanda verbal seperti: suara keras, nada kasar, mata melotot, jari tegang.

Contoh seseorang dengan Perilaku Agresif dalam mengeluarkan pendapat :
Kerjakan saja sendiri!
Bodoh!
Pasti kamu tidak percaya!

D. Perilaku agresif pada anak

Agresif terjadi pada masa perkembangan. Perilaku agresif sebenarnya sangat jarang ditemukan pada anak yang berusia di bawah 2 tahun. Tidak hanya melihat dari efek negative saja, melainkan ada suatu korelasi positif antara perilaku agresif dan kreativitas.

Pada tingkat yang paling dasar sifat agresif dan kreativitas berhubungan erat satu sama lain dan saling berkaitan sebagai proses kelangsungan hidup. Sejumlah penelitian pada sifat agresif telah menunjukkan bahwa ketika kita ditempatkan dalam situasi yang tidak menyenangkan dan memicu tingkat emosi yang berbeda, sehingga apabila tingkat reaksi terlalu tinggi kita mulai untuk menampilkan perilaku yang agresif dan dapat bertindak tanpa dorongan atau menahan diri.

Sedangkan definisi berpikir kreatif adalah adanya pemikiran yang berbeda yang dapat digunakan untuk mengatasi situasi yang sulit menjadi lebih mudah. Hal ini dimungkinkan bahwa kemampuan berpikir divergen dapat dimobilisasi di bawah tekanan situasi dimana agresi verbal atau bahkan fisik yang digunakan secara teknis menutup area otak yang berhubungan dengan berpikir kreatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara agresi verbal dan kefasihan verbal, fleksibilitas dan orisinalitas. Dengan kata lain, Orang yang terlibat dalam agresi verbal dan ancaman agresi fisik memiliki skor tertinggi pada pengukuran orisinalitas fleksibilitas verbal dan figural. Hasil ini tidak sepenuhnya bertentangan dengan apa yang diketahui tentang agresifitas kimia otak. Menjadi agresif tidak menyebabkan inaktivasi korteks otak yang mengurangi kemampuan kita untuk berpikir kreatif. Tapi tingkat agresi juga memainkan peranan apakah ada atau tidak ketika kita kehilangan kemampuan untuk berpikir kreatif dalam situasi stres.

Jenis situasi stres yang diamati selama studi oleh Tacher dab Readdick ( 2006 )yang cukup ringan menurut standar adalah ketika situasi ini melibatkan agresivitas antara lain ketika anak-anak berkelahi satu sama lain untuk mendapatkan posisi terbaik dan berjuang untuk sebuah pengakuan dikelompok bermain. Ketika anak-anak mengancam orang lain dalam situasi stres, mereka datang dengan kognitif bagaimana caranya untuk menghentikan lawan, membuat sikap tubuh untuk mengusir serangan dan menggunakan kemampuan verbal mereka untuk menghentikan perilaku agresif. kegiatan kognitif tersebut merupakan ciri khas berpikir divergen, meskipun satu atau mungkin lebih berpikir agresivitas ini kurang relevan. penggunaan ancaman di kelompok usia ini adalah sesuai dengan tahapan perkembangan.

Di sisi lain, ketika anak memasuki usia 3-7 tahun, perilaku agresif menjadi bagian dari tahapan perkembangan mereka dan sering kali menimbulkan masalah, tidak hanya di rumah tetapi juga disekolah. Diharapkan setelah melewati usia 7 tahun, anak sudah lebih dapat mengendalikan dirinya untuk tidak menyelesaikan masalah dengan perilaku agresif. Tetapi, bila keadaan ini menetap, maka ada indikasi anak mengalami gangguan psikologis.

Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak mampu berteman dengan anak lain atau bermain dengan teman-temannya. Keadaan ini menciptakan lingkaran setan, semakin anak tidak diterima oleh teman-temanya, maka makin menjadilah perilaku agresif yang ditampilkannya. Maka dari itu kita harus mampu mengetahui factor penyebab anak berperilaku agresif.

Perilaku agresif biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti atau melawan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan perilaku fisik lainya, atau berbentuk cercaan, makian ejekan, bantahan dan semacamnya

E. Identifikasi Perilaku Agresif

Perilaku agresif dianggap sebagai suatu gangguan perilaku bila memenuhi persayaratan sebagai berikut .

1. Bentuk perilaku luar biasa, bukan hanya berbeda sedikit dari perilaku yang biasa. Misalnya, memukul itu termasuk perilaku yang biasa, tetapi bila setiap kali ungkapan tidak setuju dinyatakan dengan memukul, maka perilaku tersebut dapat diindikasikan sebagai perilaku agresif. Atau, bila memukulnya menggunakan alat yang tidak wajar, misalnya memukul dengan menggunakan tempat minum.

2. Masalah ini bersifat kronis, artinya perilaku ini bersifat menetap, terus-menerus, tidak menghilang dengan sendirinya.

3. Perilaku tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma sosial atau budaya.

Untuk itu, untuk dapat mengetahui anak berperilaku kita harus dapat mengenali gejala serta karakteristik anak yang berperilaku agresif. Perilaku agresif juga dapat ditampilkan oleh anak individu (agresif tipe soliter) maupun secara berkelompok ( agresif tipe group). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok/grup, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok dan memerintahkan teman-teman sekelompoknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Pada tipe ini, biasanya anak-anak yang bergabung mempunyai masalah yang hampir sama lalu memberikan kesempatan yang sama pada salah satu anak untuk menjadi ketua kelompok. Pada tipe ini sering terjadi perilaku agresif dalam bentuk fisik.

Sedang pada tipe soliter, perilaku agresif dapat berupa fisik maupun verbal, biasanya dimulai oleh seseorang yang bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha si anak untuk menyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaannya.

Tidak jarang anak-anak ini, baik secara individual atau berkelompok, membuat anak lain mengikuti kemauan mereka dengan cara-cara yang agresif. Akibatnya, ada anak atau sekelompok anak yang menjadi korban dari anak lain yang berperilaku agresif.

Secara umum, yang dimaksud dengan gangguan emosi dan perilaku adalah ketidakmampuan yang ditunjukan dengan respons emosional atau perilaku yang berbeda dari usia sebayanya, budaya atau norma sosial. Ketidakmampuan tersebut akan mempengaruhi prestasi sekolah yaitu prestasi akademik, interaksi sosial dan ketrampilan pribadinya. Ketidakmampuan ini sifatnya menetap dan akan lebih tampak bila sang anak berada dalam situasi yang dirasakan menegangkan olehnya

Gangguan emosi dan perilaku dapat saja muncul bersama gangguan psikologis lain, misalnya ADD ( Attention Deficit Disorder) yaitu gangguan pemusatan pikiran (GPP) atau ADHD ( Attention Dificit and Hyperactive Disorder)yaitu gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas ( GPPH) ataupun retardasi mental.

Karakteristik dari masalah perilaku dan emosional ini sangat bervariasi. Berikut ini akan digambarkan karakteristik perilaku agresif menurut Masykouri (2005) :



· Perilaku agresif dapat bersifat verbal maupun nonverbal.

Bersifat verbal biasanya lebih tergantung pada situasional bersifat nonverbal yakni perilaku agresif yang merupakan respons dari keadaan frustasi, takut atau marah dengan cara mencoba menyakiti orang lain.

Bentuk-bentuk perilaku agresif ini yang paling tampak adalah memukul, berkelahi, mengejek, berteriak, tidak mau mengikuti perintah atau permintaan, menangis atau merusak. Anak yang menunjukan perilaku ini biasanya kita anggap sebagai pengganggu atau pembuat onar. Sebenarnya, anak yang tidak mengalami masalah emosi atu perilaku juga menampilkan perilaku seperti yang disebutkan diatas, tetapi tidak sesering atau seimpulsif anak yang memiliki masalah emosi atau perilaku. Anak dengan perilaku agresif biasanya mendapatkan masalah tambahan seperti tidak terima oleh teman-temannya (dimusuhi, dijauhi, tidak diajak bermain) dan dianggap sebagai pembuat masalah oleh guru. Perilaku agresif semacam itu biasanya diperkuat dengan didapatkan penguatan dari lingkungan berupa status, dianggap hebat oleh teman sebaya, atau didapatkannya sesuatu yang diinginkan, termasuk melihat temannya menangis saat dipukul olehnya.



· Perilaku agresif merupakan bagian dari perilaku antisosial.

Perilaku anti social sendiri mencakup berbagai tindakan seperti tindakan agresif. Ancaman secara verbal terhadap orang lain, perkelahian, perusakan hak milik, pencurian, suka merusak ( vandalis ), kebohongan, pembakaran, kabur dari rumah, pembunuhan dan lain-lain. Menurut buku panduan diagnostik (dalam Masykouri, 2005: 12.4) untuk gangguan mental, seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku antisosial ( termasuk agresif ) bila tiga di antara daftar perilaku khusus berikut terdapat dalam seseorang secara bersama-sama paling tidak selama enam bulan. Perilaku tersebut sebagi berikut.
Mencuri tanpa menyerang korban lebih dari satu kali.
Kabur dari rumah semalam paling tidak dua kali selama tinggal di rumah orang tua.
Sering berbohong.
Dengan sengaja melakukan pembakaran.
Sering bolos sekolah.
Memasuki rumah, kantor, mobil, orang lain tanpa izin.
Mengonarkan milik oranglain dengan sengaja.
Menyiksa binatang.
Menggunakan senjata lebih dari satu kali dalam perkelahian.
Sering memulai berkelahi.
Mencuri dengan menyerang korban.
Menyiksa orang lain.

Meskipun dari ciri-ciri tersebut tampaknya sangat jarang dilakukan anak usia sekolah, namun sebagai orang tua khususnya pendidik, perlu mewaspadai agar perilaku-perilaku tersebut jangan sampai muncul ketika anak beranjak remaja atau masa perkembangan remaja. Jadi seorang pendidik perlu lebih teliti untuk mengenali gejala perilaku yang tidak umum pada anak didiknya sedini mungkin, sehingga kasus tersebut dapat ditangani lebih awal.

Jenis – Jenis Perilaku Agresif

Menurut Buss (Nashori, 2008) yaitu:

1.Perilaku agresif fisik aktif secara langsung.

Misalnya:menusuk,menembak,membunuh.
2.Perilaku agresif fisik aktif yang secara tidak langsung.Misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain.

3.Perilaku agresif fisik pasif secara langsung.Misalnya tidak memberikan jalan kepada orang lain.

4.Perilaku agresif fisik pasif yang tidak langsung.Misalnya menolak untuk melakukan sesuatu, menolak mengerjakan perintah orang lain.
5.Perilaku agresif verbal aktif secara langsung. Misalnya memaki – maki orang.
6.Perilaku agresif verbal aktif tidak langsung, misalnya menyebar gossip.
7.Perilaku agresif verbal pasif secara tidak langsung.Misalnya menolak untuk berbicara dengan orang lain, menolak untuk menjawab pertanyaan orang lain atau menolak untuk memberikan perhatian pada suatu pembicaraan.

8.Perilaku agresif verbal pasif secara langsung. Misalnya tidak setuju dengan pendapat orang lain tetapi tidak mau mengatakan (memboikot) ataupun tidak mau menjawab pertanyaan orang lain.

F. Perilaku Agresif dalam Pendidikan

Perilaku agresif siswa di sekolah sudah menjadi masalah yang universal (Neto, 2005), dan akhir-akhir ini cenderung semakin meningkat. Berita tentang terlibatnya para siswa dalam berbagai bentuk kerusuhan, tawuran, perkelahian, dan tindak kekerasan lainnya semakin sering terdengar. Perilaku agresif siswa di sekolah sangat beragam dan kompleks. Persoalan perilaku agresif siswa semakin kompleks manakala perilaku agresif akhir-akhir ini juga dipertontonkan oleh guru, ada guru yang memukul siswanya, bahkan ada yang sampai menganiaya/membunuh siswanya.
Contoh yang lebih konkrit adalah

Agresivitas di dalam dunia pendidikan yang paling fenomenal mungkin adalah agresivitas yang dilakukan senior kepada junior di IPDN Bandung. Cliff Muntu meninggal dunia akibat tendangan bebas ke dada dan pukulan bertubi-tubi ke ulu hati dari senior-seniornya (www.atmajaya.ac.id. Namun, agresivitas di dunia pendidikan yang menghebohkan bukan itu saja. Di kalangan pelajar, agresivitas antar pelajar telah lama menjadi persoalan, salah satu di antaranya adalah peristiwa tawuran antar pelajar. Sebagai contoh, puluhan siswa SMK Bhakti sedang nongkrong di kampus Universitas Kritsen Indonesia (UKI) Jakarta. Tiba-tiba puluhan siswa SMK Penerbangan menyerang mereka dengan senjata tajam. Akibatnya, seorang siswa menderita luka bacok di kepala dan pahanya dalam tawuran tersebut (Tempointeraktif, 18 Februari 2007).

Perilaku agresif yang terjadi di lingkungan pendidikan jika tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.

Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given), tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan. Dengan demikian, siswa yang mempunyai perilaku agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/ mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.

Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan, tempat yang aman dan sehat, tempat di mana para siswa dapat mengembangkan berbagai potensi yang mereka miliki dengan sepenuhnya. Namun, masuk ke dalam lingkungan sekolah bagi seorang siswa ternyata tidak selalu menyenangkan, mungkin malah sebaliknya bisa membuat mereka stress, cemas dan takut. Bayangan akan terjadinya tindak kekerasan saat memasuki lingkungan sekolah sering menghantui siswa.

Menurut Todd, Joana, dkk. (dalam Nataliani, 2006), kekerasan dalam bentuk fisik maupun verbal di kalangan siswa telah menjadi sebuah masalah serius yang ada di berbagai negara di seluruh dunia. Perilaku agresif siswa telah menimbulkan dampak negatif, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan juga kehidupanya.

Sehubungan dengan perilaku agresif siswa di sekolah, Wilson, et al. (2003: 136) menyatakan: “These behaviors, even when not overtly violent, may inhibit learning and create interpersonal problems for those involved”. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Goldstein, Harootunian, & Conoley, (1994), Wilson, et al. (2003) menyatakan: “In addition, minor forms of aggressive behavior can escalate, and schools that do not effectively counteract this progression may create an environment in which violence is normatively acceptable”. Dengan demikian, jika perilaku agresif yang terjadi di lingkungan sekolah tidak segera ditangani, di samping dapat menggangu proses pembelajaran, juga akan menyebabkan siswa cenderung untuk beradaptasi pada kebiasaan buruk tersebut. Semakin sering siswa dihadapkan pada perilaku agresif, siswa akan semakin terbiasa dengan situasi buruk tersebut, kemampuan siswa untuk beradaptasi dengan perilaku agresif akan semakin tinggi, dan akan berkembang pada persepsi siswa bahwa perbuatan agresif merupakan perbuatan biasa-biasa saja, apalagi jika keadaan ini diperkuat dengan perilaku sejumlah guru yang cenderung agresif pula ketika menghadapi murid-muridnya. Situasi demikian akan membentuk siswa untuk meniru dan berperilaku agresif pula, sehingga perilaku agresif siswa di sekolah dianggap biasa dan akan semakin meluas.

G. Penyebab Perilaku agresif

Topik-topik di dalam kajian bidang psikologi dapat ditinjau melalui berbagai sudut pandang yang berbeda-beda. Perbedaan sudut pandang tersebut tergantung pada teori masing-masing yang mendasarinya, antara lain:

· Penggunaan perspektif biologi (biological perspective) akan memperhatikan bagaimana hormon, temperamen, otak dan nervous system berdampak pada perilaku agresif.

· Penggunaan perspektif tingkah laku (behavioral perspective) akan memperhatikan bagaimana variabel-variabel lingkungan dapat menguatkan tindakan-tindakan agresif.

· Penggunaan pandangan psikoanalisa, perilaku agresif manusia sebagian besar didorong oleh sifat bawaan manusia yang destruktif, yang oleh Freud dinamakan thanatos, atau insting kematian.

· Dari sudut pandang ethologi (ilmu tentang perilaku hewan), agresi adalah insting berkelahi dalam rangka mempertahankan hidup dari ancaman spesies lain.

· Penggunaan teori frustrasi berpandangan bahwa setiap perilaku manusia memiliki tujuan tertentu, jika seseorang gagal dalam mencapai tujuannya maka akan timbul perasaan frustrasi, selanjutnya, keadaan frustrasi akan dapat menimbulkan agresi, dan intensitas frustrasi yang ter-gantung pada besarnya ambisi individu dalam mencapai tujuan, banyaknya penghalang, dan berapa banyak frustrasi yang pernah dialami sebelumnya.

Para ahli teori belajar sosial (Social Learning Theory) memberikan sumbangan yang lebih optimis mengenai kejadian perilaku agresif.

· Dalam pandangannya Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross (1961), perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari, baik melalui observasi maupun melalui pengalaman langsung, bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia (not innately given). Bandura berpendapat bahwa perilaku agresif timbul karena adanya pengalaman observasi terhadap model yang terjadi tanpa disadari (modelling atau imitasi).Perilaku akan ditiru bila orang yang ditiru dikagumi dan meniru menimbulkan perasaan bangga (menimbulkan penguatan emosional).

Oleh karena itu, untuk memahami sumber-sumber perilaku agresif dapat dimulai dengan mempelajari kondisi-kondisi di luar diri individu daripada memperhatikan faktor individu itu sendiri.

Pendekatan Bandura adalah suatu perluasan dari behaviorisme yang pada dasarnya memandang perilaku manusia dibentuk oleh pengalaman-pengalaman hidup mereka, perilaku manusia terbentuk oleh ganjaran dan hukuman-hukuman yang dialaminya setiap hari. Bandura mencoba mengembangkan konsep-konsep yang digunakan pada operant dan classical cond-tioning untuk menjelaskan perilaku sosial manusia yang kompleks. Konsep utamanya adalah penguatan dan imitasi.

Dalam memandang perilaku agresif, Bandura menyatakan bahwa jika anak-anak menjadi saksi yang pasif pada sebuah tayangan yang agresif, mereka akan meniru perilaku agresif tersebut jika ketika diberi kesempatan (Bandura, Dorothea Ross dan Sheila Ross, 1961).

Proses sosialisasi, yaitu transfer nilai dan norma dari orangtua ke anak, berpengaruh secara langsung pada perilaku anak. Tujuan utama dari proses sosialisasi orangtua dan anak adalah menumbuhkan kepatuhan atau kesediaan mengikuti keinginan atau peraturan tertentu. Anak akan melakukan keinginan orangtua bila ada kelekatan yang aman di antara mereka. Tujuan kedua proses sosialisasi adalah menumbuhkan self regulation (pengaturan diri), yaitu kemampuan mengatur perilakunya sendiri tanpa perlu diingatkan dan diawasi oleh orangtua. Dengan adanya self regulation ini, anak akan mengetahui dan memahami perilaku seperti apa yang dapat diterima oleh orangtua dan lingkungannya (Hetherington&Parke1999).

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya mempengaruhi perilaku anak adalah pola asuh orangtua. Menurut Baumrind, Maccoby dan Martin (dalam Hetherington & Parke, 1999). Pola asuh orangtua yang permisif dan tidak mau terlibat berhubungan dengan karakteristik anak yang impulsif, agresif dan memiliki keterampilan sosial yang rendah. Sedangkan anak yang orangtuanya otoriter cenderung menunjukkan dua kemungkinan, berperilaku agresif atau menarik diri. Hal ini sejalan dengan penelitian Chamberlain, dkk (dalam Yanti, 2005) yang menyebutkan bahwa pola asuh orangtua yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak adalah penerapan disiplin yang keras dan tidak konsisten, pengawasan yang lemah, ketidakterlibatan orangtua, dan penerapan disiplin yang kaku.

Di sisi lain, lingkungan di luar keluarga yang cukup berperan bagi perkembangan perilaku anak adalah teman sebaya, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Anak-anak yang ditolak dan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan teman sebaya cenderung menjadikan agresivitas sebagai strategi berinteraksi (Dishion, French & Patterson, 1995 dalam Yanti, 2005). Sementara, anak-anak yang agresif dan memiliki perilaku antisosial akan ditolak oleh teman sebaya dan lingkungannya sehingga mereka memilih bergabung dengan teman sebaya yang memiliki perilaku sama seperti mereka, yang justru akan memperparah perilaku mereka (Jimerson,dkk,2002).

Sehubungan dengan pandangan-pandangan di atas yang menyiratkan bahwa perilaku agresif bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia,tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan,maka tulisan berikut lebih berorientasi pada pandangan-pandangan tersebut,di mana aplikasinya dapat digunakan dalam dunia pendidikan yang juga berpendapat bahwa pendidikan dan pengalaman dapat membentuk perilaku seseorang. 

H.Intervensi terhadap Perilaku Agresif

Akhir-akhir, banyak dikemukakan teori tentang keterkaitan antara kemampuan emosional dan munculnya psychopathology, utamanya perilaku.

Kemampuan mengatur emosi mempegaruhi keterampilan sosial anak. Penelitian yang dilakukan oleh Rubin, Coplan, Fox & Calkins (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998) menyimpulkan bahwa pengaturan emosi sangat membantu, baik bagi anak yang mampu bersosialisai dengan lancar maupun yang tidak. Anak yang mampu bersosialisasi dan mengatur emosi akan memiliki keterampilan sosial yang baik sehingga kompetensi sosialnya juga tinggi. Anak yang kurang mampu bersosialisasi namun mampu mengatur emosi, maka walau jaringan sosialnya tidak luas tetapi ia tetap mampu bermain secara konstruktif dan berani bereksplorasi saat bermain sendiri. Sedangkan anak-anak yang mampu bersosialisasi namun kurang dapat mengontrol emosi, cenderung akan berperilaku agresif dan merusak. Adapun anak-anak yang tidak mampu bersosialisasi dan mengontrol emosi, cenderung lebih pencemas dan kurang berani bereksplorasi.

Munculnya perilaku agresif juga terkait dengan keterampilan sosial anak, yaitu kemampuan anak mengatur emosi dan perilakunya untuk menjalin interaksi yang efektif dengan orang lain atau lingkungannya (Cartledge & Milburn, 1995). Mereka cenderung menunjukkan prasangka permusuhan saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif (Crick & Dodge dalam Yanti, 2005). Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial (Lochman, dkk. dalam Yanti, 2005). Rendahnya keterampilan sosial ini membuat anak kurang mampu menjalin interaksi secara efektif dengan lingkungannya dan memilih tindakan agresif sebagai strategi coping. Mereka cenderung menganggap tindakan agresif sebagai cara yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan sosial dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akibatnya, mereka sering ditolak oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya.

Penolakan oleh orangtua, teman sebaya, dan lingkungannya justru semakin berdampak buruk bagi anak. Jaringan sosial dan kualitas hubungan mereka dengan lingkungan menjadi rendah, padahal kedua kondisi ini merupakan media yang paling dibutuhkan anak untuk mengembangkan keterampilan sosialnya. Anak juga menjadi lebih suka bergaul dengan temannya yang memiliki karakteristik yang sama dengan mereka. Seolah-olah seperti “lingkaran setan”. Hal ini akan membuat keterampilan sosial anak tetap rendah dan gangguan perilaku mereka semakin parah yang pada akhirnya akan membuat mereka semakin dijauhi oleh lingkungan.

Keterampilan sosial bukanlah suatu kemampuan yang dibawa individu sejak lahir (not innately given), tetapi diperoleh melalui proses belajar, baik belajar dari orangtua sebagai figur yang paling dekat dengan anak maupun belajar dari teman sebaya dan lingkungan masyarakat. Michelson, dkk (dalam Yanti 2005) menyebutkan bahwa keterampilan sosial merupakan suatu keterampilan yang diperoleh individu melalui proses belajar, mengenai cara-cara mengatasi dan melakukan hubungan sosial dengan tepat dan baik.


Goleman (1996) menyatakan bahwa dari beberapa hasil penelitian dalam menangani perilaku agresif siswa di sekolah, program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional ternyata menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang terlibat dalam program tersebut semakin berkurang sikap agresifnya. Goleman (1996: 274) menyatakan: “…and the longer they had been in the program, the less aggressive they were as teenagers”.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, perilaku agresif siswa dapat direduksi melalui program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional. Sulit untuk menyusun daftar yang lengkap tentang keterampilan sosial apa yang harus dimiliki anak agar selalu berhasil dalam interaksi sosialnya, karena sebagaimana kehidupan sosial itu sendiri, kesempatan untuk berhasil secara sosial juga dapat berubah sesuai waktu, konteks, dan budaya. Namun demikian, menurut Schneider dkk (dalam Rubin, Bukowski & Parker, 1998),agar seseorang berhasil dalam interaksi sosial,maka secara umum dibutuhkan beberapa keterampilan sosial yang terdiri dari pengaturan emosi,dan perilaku yang tampak yaitu:

a.Memahami pikiran, emosi, dan apa yag dimaksudkan oleh orang lain.

b.Menangkap dan mengolah informasi mengenai partner sosial dan lingkungan pergaulan yang berpotensi menimbulkan interaksi.

c.Menggunakan berbagai cara yang dapat digunakan untuk memulai komunikasi atau interaksi dengan orang lain, memeliharanya,dan mengakhiri-nya dengan cara yang positif.

d.Memahami konsekuensi dari sebuah tindakan sosial, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain atau tujuan tindakan tersebut.

e.Membuat penilaian moral yang matang yang dapat mengarahkan tindakan sosial.

Beberapa contoh program pembelajaran keterampilan sosial dan emosional yang dapat dilakukan untuk mereduksi perilaku agresif siswa di sekolah, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk melihat bagaimana sejumlah isyarat sosial yang mereka tafsirkan sebagai permusuhan itu sesungguhnya netral atau bersahabat.

Pembelajaran dan pelatihan di atas penting diberikan, sebab perilaku agresif sering kali muncul karena adanya penafsiran yang salah terhadap sejumlah isyarat sosial dari orang lain yang cenderungan selalu dianggap sebagai isyarat permusuhan. “… children with aggressive behavior more often make errors interpreting intent in ambiguous social situations and attend selectively

to hostile social cues than do their nonaggressive peers
b. Siswa diberikan pembelajaran dan pelatihan untuk meninjau dari sudut pandang anak lain,untuk memperoleh perasaan bagaimana mereka dilihat oleh orang lain dan merasakan apa yang barangkali dipikirkan dan dirasa-kan oleh orang lain dalam perselisihan yang telah membuat mereka begitu marah.
c. Siswa dilibatkan secara langsung untuk mengendalikan amarah melalui skenario-skenario peragaan,misalnya diejek,yang dapat membuat merekamarah dan dituntun untuk mengendalikannya.

d. Melatih skill berbicara dan belajar meminta maaf. Latihan ini penting didasarkan pada asumsi bahwa perilaku agresif terjadi karena orang tidak bisa atau kurang dapat berkomunikasi dengan baik, sebagaimana dikatakan oleh Shields & Cicchetti (dalam Bohnert, et al., 2003: 2): “Aggressive symptoms were associated with decreased ability to verbally express negative feelings, exhibit empathy towards others, and display a range of emotion”

Perilaku agresif siswa akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, baik bagi siswa itu sendiri maupun bagi orang lain. Anak yang mengalami kekerasan akan mengalami masalah di kemudian hari baik dalam hal kesehatan maupun kesejahteraan hidupnya.

Dalam pandangan yang optimis, perilaku agesif bukan suatu perilaku yang dengan sendirinya ada di dalam diri manusia, tetapi merupakan perilaku yang terbentuk melalui pengalaman dan pendidikan yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya. Dengan demikian, siswa yang mempunyai agresif, melalui pengalaman dan pendidikan perilakunya dapat diubah menjadi perilaku yang lebih positif.

Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa munculnya perilaku agresif terkait dengan rendahnya keterampilan sosial anak, di samping itu juga terkait dengan rendahnya kemampuan anak dalam mengatur/mengelola emosinya. Dengan demikian, melalui pembelajaran keterampilan sosial dan emosional, perilaku agresif siswa di sekolah diharapkan dapat direduksi.

Nature VS Nurture

Melihat uraian-uraian Anderson & Bushman bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Menurut penulis, individu yang tidak mempunyai sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajarinya dari lingkungannya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan menampilkan perilaku agresif jika lingkungannya tidak mendukung atau mengajarinya berperilaku agresif. Hal ini dibuktikan melalui eksperimen klasik dengan boneka Bobo yang dilakukan oleh Bandura & Ross (Bandura, Ross, & Ross, 1961). Dalam eksperimen ini, pada kelompok murid TK yang pertama ditampillkan video yang berisi perilaku agresif (memukul, menendang, membanting boneka Bobo) sedangkan pada kelompok murid TK yang kedua ditampilkan video yang tidak berisi perilaku agresif. Hasilnya, kelompok murid TK yang pertama berperilaku jauh lebih agresif dibandingkan dengan kelompok murid TK yang kedua bahkan mereka meniru adegan-adegan yang terdapat dalam video yang berisi perilaku agresif.

Selain itu, penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada hewan yang lebih rendah, banyak respons yang selama ini dianggap instinctive murni ternyata sebenarnya adalah respons yang dipelajari. Contoh: seekor kucing muda memburu tikus bukan karena instingnya tetapi karena mereka mempelajari perilaku itu dengan melihat kucing lain yang lebih tua (Kuo, 1930). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif lebih merupakan perilaku yang dipelajari dari lingkungan (nurture) daripada perilaku yang diwariskan (nature).

5 comments:

  1. bisa minta referensinya ....

    ReplyDelete
  2. Boleh saya minta referensinya? Trims

    ReplyDelete
  3. Perilaku agresif tidak baik dalam hidup bersosial
    Sebab apa yang kita lakukan membuat orang lain merasa tertantang untuk melakukannya.
    Dimana ada aksi disitu ada reaksi.
    Dalam menjalani hidup harus lebih sabar mengendalikan diri.
    Salam santun
    menang BERSAMA
    hidup adalah PERJUANGAN

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. terima kasih atas ilmu barunya mas, sangat membantu.
    kalau boleh kunjungi juga website saya mas, juga membahas tentang bimbingan konseling, selalu update.

    BIMBINGAN KONSELING AREA

    ReplyDelete