Perkembangan Moral

PERKEMBANGAN MORAL

1. Pengertian Perkembangan Moral

Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan.  Kata mos jika akan dijadikan kata keterangan atau kata sifat lalu mendapat perubahan dan belakangannnya, sehingga membiasakan menjadi “morris” kepada kebiasaan moral dan lain-lain dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan moral dan lain-lain, dan moral adalah kata nama sifat dari kebiasaan itu, yang semula berbunyi moralis.  Kata   sifat tidak akan berdiri sendiri dalam kehidupan sehari-hari selalu dihubungkan dengan barang lain.  Begitu pula kata moralis dalam dunia ilmu lalu dihubungkan  dengan scientia dan berbunyi scientis moralis,  atau philosophia moralis.  Karena biasanya orag-orang telah mengetahui bahwa pemakaian selalu berhubungan deangan kata-kata yang mempunyai arti ilmu.  Maka untuk mudahnya disingkat jadi moral.

Sedangkan Perkembangan Moral (moral development)berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Dalam mempelajari aturan-aturan ini, para pakar perkembangan anak menguji tiga bidang yang berbeda. Pertama, bagaimana anak-anak bernalar atau berpikir tentang aturan-aturan untuk perilaku etis? Misalnya, memandang perilaku menyontek. Kepada anak dapat diceritakan suatu cerira tentang seorang anak yang mengalami suatu konflik mengenai apakah boleh atau tidak boleh menyontek dalam suatu situasi tertentu, isalnya ketika ulangan umum disekolah. Anak diminta memutuskan pakah hal itu sesuai untuk dilakukan anak itu dan mengapa? Fokusnya ialah pada penalaranyang digunakan oleh anak-anak untuk membenarkan keputusan moral itu.

Kedua, bagaimana anak-anak sesungguhnya berperilaku dalam keadaan moral? Pada contoh kita tentang menyontek, penekanannya adalah pada mengobservasi anak yang menyontek dan keadaan-keadaan yang menyebabkan dan mempertahankan ia menyontek. Kepada anak-anak mungkin diperlihatkan beberapa mainan dan kemudian diminta untuk memilih salah satu yang mereka yakini sebagai yang paling menarik. Pelaku eksperimen kemudian memberitahu anak kecil itu bahwa mainan itu adalah milik seseorang dan tidak boleh digunakan bermain. Observasi atas kondisi-kondisi yang berbeda itu diman anak melanggar larangan atau melawan godaan kemudian dilaksanakan.

Ketiga, bagaimana anak merasakan hal-hal moral itu? Pada contoh menyontek, apakah anak merasa sangat bersalah untuk melawan godaan? Seandainya anak-anak menyontek, pakah perasaan bersalah setelah pelanggaran mencegah mereka menyontek dikemudian hari ketika mereka mengahadapi godaan? Pada sisa bagian ini, kita akan berfokus pada ketiga bentuk perkembangan moral ini: pemikiran, tindakan dan perasaan. Kemudian kita akan mengevaluasi sis positif dari perkembangan moral anak-anak: altruisme.
 
2. Pola-Pola Perkembangan Moral

Pola perkembangan moral secara umum dari anak-anak hingga remaja, adalah :
 
- Tahap dasar

Anak-anak dari lahir hingga usia 2-3 tahun mulai belajar mengenai benar dan salah dari orang tua mereka, terutama dari modelling (mengambil seseorang sebagai contoh atau model untuk ditiru perilakunya ). Orangtua yang sering berdialog dengan anak-anak mereka, memberikan contohatau model perilaku moral yang baik, mendorong perilaku anak-anak yang positif, dan menggunakan hukuman-hukuman ringan jika diperlukan, biasanya memberikan anak-anak arahan awal yang baik bagi perkembangan moralnya.
- Tahap kanak-kanak awal

Fase berikutnya (2-6 tahun ) menggambarkan kematangan pertumbuhan kognitif anak dan kemampuan yang semakin berkembang untuk memutuskan antara yang benar dan yang salah. Mereka mulai berinteraksi dengan berbagai figur otoritas selain orangtua mereka, misalnya guru.
 
- Tahap kanak-kanak madya

Anak-anak pada fase ini (6-11 tahun ) mulai banyak berinteraksi dengan teman sebaya mereka, di sekolah, maupun di lingkungan tempat mereka tinggal. Di sini mereka belajar peraturan-peraturan lain yang tidak di buat oleh orang tua mereka, dan akibatnya mereka belajar bagaimana membuat dan mengikuti aturan.

- Tahap remaja

Anak-anak pada usia 12-13 tahun ( sebenarnya sulit untuk benar-benar memastikan waktu yang tepat dimulainya masa remaja), anak-anak belajar untuk mengendalikan perilaku-perilaku impulsif yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada di masyarakat. Dalam pergaulannya dengan teman-teman sebaya, anak-anak mulai belajar untuk membuat keputusan sendiri dan mengevaluasi nilai-nilai yang perilaku teman-teman mereka dan menentukan apakah hal itu benar atau salah. Keputusan-keputusan tersebut di pengaruhi antara lain oleh pengalaman mereka di rumah, hubunganmereka dengan mereka dan guru ( orang dewasa lain ), dan dibarengi dengan kemampuan kognitif mereka yang terus berkembang. Tapi ada yang harus di ingat, bahwa pada usia ini, tekanan dari teman-teman sebaya sangat kuat, yang tidak selalu sesuai dengan apa yang di pelajari remaja di rumah.

3. Perkembangan Moral menurut Piaget

Tahap perkembangan moral menurut piaget baru dimulai kira-kira pada umur 6 tahun, ketika anak-anak mulai membuat transisi dari tahap pra operasional kepikiran kongkrit operasional.

- Pandangan Piaget tentang Bagaimana Penalaran Moral Anak-anak Berkembang

Minat terhadap bagaimana anak memikirkan isu-isu moral dirangsang oleh Piaget (1932), yang secara ekstensif mengobservasi dan mewawancarai anak-anak dari usia 4 hingga 12 tahun.  Ia mengamati mereka bermain kelereng, sambil berusaha mempelajari bagaimana mereka menggunakan dan memikirkan aturan-aturan permainan. Ia juga menanyakan kepada anak-anak pertanyaan- pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan. Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan dua cara yang jelas-jelas berbeda tentang moralitas, bergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, yaitu :

a. Heteronomous morality atau Moral Realism atau Morality of Constraint ialah tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget, yang terjadi kira-kira pada usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia, atau suatu masa dimana anak-anak tunduk pada peraturan yang berlaku tanpa penalaran dan penilaian. Mereka semata-mata menghindari hukuman sebab mereka percaya bahwa orang jahat akan mendapat hukuman.  Hal ini membuat anak percaya bahwa aturan moral harus ditepati dan tidak bisa berubah

b. Autonomous morality ialah tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun dan lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak-anak berusia 1 hingga 10 tahun berada alam suatu transisi diantara dua tahap, menunjukkan beberapa ciri dari keduanya.

Mari kita tinjau lebih lanjut kedua tahap perkembangan moral Piaget. Pemikir heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat-akibat dari perilaku itu, bukan maksud-maksud dari pelaku. Misalnya, pemikir heteronomous mengatakan bahwa memcahkan dua belas gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan satu gelas secara sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue. Bagi pemikir otonomous, yang benar adalah sebaliknya. Maksud pelaku dianggao sebagai yang terpenting. Pemikir heteronomous juga yakin bahwa aturan tideak boleh diubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa. Ketiak Piaget menyatakan bahwa aturan-aturan baru harus diperkenalkan kedalam permainan kelereng, anak-anak kecil menolak. Mereka berkeras bahwa aturan-aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah. Sebaliknya, anak-anak yang lebih tua – yang merupakan pemikir moral otonomous – menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan-aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian-perjanjian yanga sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahanmenurut kesepakatan.

Pemikir heteronomous juga yakin akan keadilan yang immanen (immanent justice), yakni konsep bahwa suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera. Anak-anak kecil yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman. Oleh karena itu, anak-anak kecil seringkali melihat ke sekitar dengan kuatir setelah melakukan suatu pelanggaran, sambil mengharapkan hukuman yang tidak terelakkan. Anak-anak yang lebih tua, yakni pemikir moral otonomous, menyadari bahwa hukuman ditentgahi secara sosial dan hanya terjadi bila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa, hukuman juga tidak terelakkan.

Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang, anak-anak juga menjadi lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, khususnya tentang kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui reaksi-reaksi teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, dirundingkan dan dikoordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi orang tua-anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan sesuai diteruskan dengan cara yang otoriter.

- Perilaku Moral

Study tentang perilaku moral telah dipengaruhi oleh teori belajar sosial. Proses-[roses penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. Bila anak-anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan perjanjian sosial, mereka akan mengulangi perilaku itu. Bila model berperilaku secara moraldiberikan, anak-anak akan meniru tindakan sang model tersebut. Dan bila anak-anak dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, perilaku itu akan berkurang atau hilang. Tetapi karena hukuman memiliki akibat sampingan yang berbeda, hukuman perlu digunakan secara bijaksana dan hati-hati.

Hal penting lain yang perlu dipikirkan mengenai pandang an belajar sosial tentang perkembangan moral. Perilaku moral dipengaruhi secara ekstensif oleh situasi. Apa yang dilakukan oleh anak-anak dalam satu situasi seringkali hanya kurang terkait dengan apa yang mereka lkukan pada situasi-situasi lain. Seorang anak dapat menyontek pada ulangan matematika, tetapi tidakk untuk ulangan bahasa inggris; seorang anak dapat mencuri sepotong gula-gula bila tidak ada orang lain, dan tidak mencuri bila ada orang lain; dan seterusnya. Lebih dari setengah abad yang lalu, hakekat situasional moralitas diobservasi dalam suatu studi komprehensif mengenai beribu-ribu anak-anak dalam berbagai situasi yang berbeda baik dirumah, sekolahdan dimanapun mereka berada, misalnya. Anak yang benar-benar jujur pada dasarnya tidak ada; begitu juga anak yang menyontek dalam semua situasi. (Hartshorne & May, 1928-1930)

Teoritisi belajar sosial juga yakin bahwa kemampuan untuk menolak godaan yang berhubungan erat dengan perkembangan kendali diri. Anak-anak harus mengatasi dorongan /godaan atas seauatu yang mereka inginkan tetapidilarang. Untuk mencapai kendali diri ini, mereka harus beljar sabar dan menunda kenikmatan. Dewasa ini, teoritisi belajar sosial yakin bahwa faktor-faktor kognitif penting dalam perkembangan kendali diri anak. Misalnya dalam suatu investigasi, transformasi kognitif anak-anak akan suatu objek yang diingankan menolong mereka menjadi lebih sabar (Mischel & Patterson, 1976). Anak-anak prasekolah diminta melakukan suatu pekerjaan yang membosankan. Di dekatnya ada badut mesin yang lucu yang mencoba membujuk anak-anak untuk bermain dengannya. Anak-anak yang telah dilatih mengatakan pada dirinya sendiri, “Aku tidaka akan melihat Pak Badut ketika Pak Badut memintaku melihatnya” mengendalikan perilaku mereka dan terus mengerjakan pekerjaan yang membosankan itu lebih lama daripada anak-anak yang tidak dilatih untuk berkata seperti diatas.

- Perasaan moral

Seperti yang kita ketahui tentang teori psikoanalisis Sigmund Freud, yang menggambarkan superego sebagai salah satu dari struktur kepribadian. Menurut freud, superego anak berkembang saat anak mengatasi konflik Oedipus dan mengidentifikasikan diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama pada tahun-tahun awal masa anak-anak. Diantara alasan-alasan tentang mengapa anak-anak mengatasi konflik Oedipus ialah kekuatiran akan kehilangan kasih sayang orang tua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak dapat diterima itu terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk mengurangi kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih sayang orang tua, anak-anak membentuk suatu superego dengan mengidentifikasikan diri dengan orang tua berjenis kelamin sama. Karena mengidentifikasikan diri dengan orang tua yang berjenis kelamin sama, anak-anak menginternalisasikan standar-standar benar dan salah dan salah orang tua yang mencerminkan larangan masyarakat. Dan anak mengalihkan permusuhan kedalam yang sebelumnya ditujukan secara eksternal kepada orang tua yang berjenis kelamin sama. Permusuhan yang mengarah kedalam ini sekarang dirasakan sebagai suatu kesalahan yang patut dihukum, yang dialam secara tak sadar (diluar kesadaran anak). Dalam catatan perkembangan moral psikoanalisis, penghukuman diri sendiri atas suatu kesalahan bertanggung jawab untuk mencegah anak melakukan pelanggaran. Yaitu anak-anak menyesuaikan diri dengan standar-standar masyarakat untuk menghindari rasa bersalah.

Perasaan-perasaan positif seperti empati menyumbang bagi perkembangan moral anak. Empati (empathy) ialah bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan suatu respon emosional yang sama dengan perasaan-perasaan orang lain itu (damon, 1988; Damon & hart, 1992). Walaupun dialami sebagai suatu keadaan emosional, empati seringkali mengandung komponen kognitif. Komponen kognitif adalah kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain, atau apa yang disebut “penentu perspektif”. Bayi kecil memiliki kemampuan untuk merespon dengan empati yang murni, tetapi untuk tindakan moral yang efektif anak-anak perlu belajar bagaimana mengidentifikasi berbagai keadaan emosional pada orang lain, dan merek perlu belajar mengantisipasi jenis-jenis tindakan apa yang akan memperbaiki keadaan emosional orang lain.

Kita telah melihat bahwa teori psikoanalisis klasik menekankan kekuatan rasa bersalah yang tidak disadari dalam perkembangan moral. Tetapi para teoritisi lain, seperti Martin Hoffman dan William Damon menekankan peran empati. Dewasa ini banyak pakar perkembangan anak yakin bahwa perasaan-perasaan positif seperti empati, simpati, kekaguman,dan harga diri juga perasaan-perasaan negatif seperti marah, sakit hati, malu dan rasa bersalah, menyumbang bagi perkembangan moral anak. Bila dialami secara kuat, emosi-emosi ini mempengaruhi anak-anak untuk bertindak sesuai dengan standar baik dan buruk. Emosi seperti empati, malu, rasa bersalah,dan kecemasan akan pelanggaran standar orang lainmuncul pada awal perkembangan dan mengalami perubahan perkembangan sepanjang masa kanak-kanak dan sesudahnya (Damon, 1988; Damon & Hart, 1992). Emosi-emosi ini memberi suatu landasan alamiah bagi perolehan nilai-nilai moral ana, baik dengan mengorientasikan anak-anak kepada peristiwa-peristiwa moral maupun dengan memotivasi anak-anak untuk memberi perhatian yang serius terhadap peristiwa-peristiwa moral itu. Tetapi emosi-emosi moral tidak beroperasi dalamsuatu ruangan hampauntuk membangun kesadaran moral anak, dan emosi-emosi moral tersebut tidak cukup dalam dirinya sendiri untuk menggerakkan tanggapan moral. Emosi-emosi moral tidak memberi “substansi” bagi peraturan moral (aturan, nilai-nilai, dan standar aktual perilaku yang diperlukan oleh anak-anak untuk memahami dan bertindak). Emosi-emosi moral berkaitan erat dengan aspek-aspek kognitif dan sosial perkembangan anak. Mari kita lihat tabel konsep diri, gender dan perkembangan moral anak-anak.
Title : Perkembangan Moral
Description : PERKEMBANGAN MORAL 1. Pengertian Perkembangan Moral Kata Moral berasal dari kata latin “mos” yang berarti kebiasaan.  Kata mos jika akan di...

0 Response to "Perkembangan Moral"

Post a Comment